Opini,
Ini Alasan ARB Mau Jadi Calon Presiden
Admin DPD PARTAI GOLKAR BONE
Publikasi Jumat, 01 November 2013
Banyak orang menilai bahwa saya maju sebagai calon presiden Partai
Golkar merupakan ambisi pribadi saya. Ini jelas sebuah penilaian yang
salah. Karena sejak kecil saya tidak pernah bercita-cita menjadi
presiden. Perjalanan hidup dan pengabdian kepada bangsa lah yang
mengantarkan saya kepada keputusan tersebut.
Saya selalu menceritakan hal ini kepada mereka yang menanyakan alasan
saya bersedia maju sebagai calon presiden (capres) di berbagai
kesempatan. Seperti Jumat kemarin, 26 April 2013, saat acara silaturahmi
dengan karyawan ANTV dan VIVA group. Di dalam acara itu, saya
menceritakan latar belakang mengapa saya akhirnya bersedia maju sebagai
capres.
Memang sejak dulu saya suka berorganisasi, mulai menjadi ketua kelas,
ketua OSIS, ketua umum Senat Mahasiswa Elektro ITB, dan Ketua Dewan
Mahasiswa ITB. Saya juga mendirikan HIPMI dan jadi ketua HIPMI yang ke
tiga, kemudian jadi ketua umum Persatuan Insinyur Indonesia dan ketua
umum Kadin. Meski selalu menjadi pemimpin di setiap organisasi, saya
belum pernah terfikir untuk menjadi pemimpin bangsa ini.
Saya
ingat saat akan lulus SMA, saat itu tahun 1964. Saya dan teman-teman
menulis surat wasiat yang berisi cita-cita kami, lalu menempatkannya di
dalam box untuk kita buka pada tahun 1996. Waktu itu ada teman yang
mengatakan ingin menjadi pemimpin besar revolusi (istilah presiden pada
waktu itu), namun ternyata dia jadi pengusaha. Ada yang ingin berjuang
bawa senjata (jadi TNI), ternyata jadi guru.
Rupanya antara cita-cita dan kenyataannya berbeda-beda. Dari semua,
yang paling tepat adalah saya. Saya tulis di situ saya ingin menjadi
insinyur dan pengusaha besar, dan ketika dibuka box cita-cita itu pada
1996, cita-cita saya itu tercapai. Kemudian kehidupan saya memang lebih
banyak berkecimpung dalam dunia usaha. (Pengalaman saya di dunia usaha
bisa dibaca di artikel ini).
Sampai pada 2004, Saya akhirnya masuk ke pemerintahan dan
meninggalkan dunia usaha. Yang meminta saya masuk ke pemerintahan adalah
Pak Jusuf Kalla. Saya memang akrab dan sering berdiskusi dengan beliau,
karena saya ketua umum Kadin dan beliau pernah menjadi ketua Kadin
Sulsel. Saat beliau menjadi Wakil Presiden, beliau menawarkan jabatan
Menko Perekonomian kepada saya, tapi saya tolak. Kalau pun harus masuk
di pemerintahan, saya hanya ingin menjadi penasihat presiden di bidang
ekonomi saja. Saat itu bulan puasa dan Pak JK meminta saya pikir-pikir
dulu. Malamnya setelah berbuka, beliau menelepon lagi dan bilang pada
saya, bahwa saya harus masuk kabinet.
“Saya ini tidak punya temen di kabinet yang dari bisnis yang mengerti
pemikiran-pemikiran saya. Kamu harus ikut, kalau mau berjuang harus
basah, jangan cuma cuci-cuci muka,” kata Pak JK, yang kemudian membuat
saya mau masuk pemerintahan dan menerima jabatan Menko Perekonomian.
Selama menjadi Menko Perekonomian banyak hal yang sudah saya lakukan.
Misalnya saya berhasil melakukan negosiasi dengan Exxon di Blok Cepu.
Awalnya Exxon memiliki sebesar 30 persen dan sudah disetujui pemerintah.
Tapi saya berhasil menjadikan 3,5 persen. Sehingga negara bisa mendapat
93 persen, dan sisanya 3,5 persen milik Pertamina. Dari sisi
manajemannya, saya buat jika direktur utamanya Exxon, maka presiden
komisarisnya harus dari Pertamina. Jika wakil direktur utama Pertamina,
wakil komisarisnya Exxon, dan begitu seterusnya. Selama negosiasi, saya
terbang ke tempat-tempatnya Exxon itu pun saya tidak memakai uang
negara, tapi memakai dana pribadi saya.
Suatu waktu, saya menaikkan harga BBM dengan guidance dari Pak JK dan
presiden. Saya mengumumkan kenaikan BBM 114 persen dan itu
menyelamatkan ekonomi Indonesia pada saat itu. Tentu dengan kompensasi
pada masyarakat miskin di bidang pendidikan (BOS) dan kesehatan
(Askeskin). Subsidi BBM yang sebelumnya sebagian besar dinikmati orang
kaya kita alihkan ke orang miskin. Saya ambil tanggungjawab mengumumkan
keputusan yang tidak populis ini. Saya didemo dan dihujat di mana-mana.
Sampai akhirnya saya dipindah jadi Menko Kesra. Terus terang pada
awalnya saya marah atas keputusan presiden itu. Saya merasa kecewa, saya
merasa dibuang. Bahkan saya mengekspresikan kemarahan saya dengan
memakai dasi saya warnanya ungu saat pelantikan.
Namun kemudian seiring berjalannya waktu saya mendapat hikmahnya.
Saya justru merasa berterimakasih dan bersyukur kepada Allah atas
pemindahan saya jadi Menko Kesra. Sebab dengan jabatan ini ternyata saya
mendapatkan banyak pelajaran berharga yang mengubah hidup saya.
Jika
menjadi Menko Perekonomian, saya mungkin tidak akan banyak belajar
sebagaimana di Kesra. Jika tetap jadi Menko Perekonomian, saya hanya
akan berkutat dengan masalah ekonomi dan keuangan yang sebenarnya adalah
makanan sehari-hari saya yang berlatar belakang seorang pengusaha.
Tetapi, dengan menjadi Menko Kesra saya punya banyak pengalaman
baru.Saat menjadi Menko Kesra, saya bisa berinteraksi dengan warga
miskin secara langsung. Mempelajari atau melihat kemiskinan di literatur
dengan berinteraksi dengan mereka secara langsung itu sangat berbeda.
Saya jadi mengetahui problem-problem kesejahteraan rakyat secara
langsung di lapangan, dengan mata kepala saya sendiri.
Persepsi saya juga banyak berubah. Dulu saya takut dengan orang yang
menderita HIV/AIDS. Jangankan bersalaman, berdekatan saja saya takut.
Namun dengan menjadi Menko Kesra saya mendapat informasi dan
berinteraksi langsung dengan mereka. Saya kemudian berani berpelukan
dengan mereka. Bahkan saya mengangkat penderita HIV/AIDS menjadi salah
satu anggota komisi penanggulangan HIV/AIDS, meski banyak yang menentang
awalnya.
Contoh lain dulu saya tidak mau makan ikan lele, ikan ini menurut
saya kotor dan jorok. Tetapi setelah jadi menteri dan melihat sendiri
peternakannya, saya jadi suka ikan lele. Selain itu, masih banyak contoh
lainnya yang kesemuanya meninggalkan pengalaman berharga bagi saya.
Namun dari semua pengalaman itu ada satu pengalaman yang paling
berkesan, yaitu pengalaman di Yahukimo, Papua. Saat saya berhasil
menanggulangi bencana kelaparan di sana (pengalaman saya di Yahukimo,
bisa dibaca di artikel ini).
Alhamdulilla dengan kerja keras itu bukan hanya kelaparan yang dapat
diatasi, namun banyak juga saudara kita yang sebelumnya memilih
bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka, mau kembali ke NKRI, setelah
kita memberikan mereka kesejahteraan (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini).
Selain itu semua tentu saja masih banyak pengalaman menarik dan
berharga lainnya saat saya menjadi Menko Kesra. Seperti cara
penanggulangan kemiskinan (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini), PNPM Mandiri (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini), dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya yang masih berjalan sampai saat ini.
Untuk pengabdian saya di Kemenko Kesra ini, bahkan mendapat apresiasi
dari negara. Jumat, 12 Agustus 2011, saya mendapatkan Penghargaan
Bintang Mahaputra Adipradana atas pencapaian saya selama mengabdi
sebagai Menko Kesra. Tapi tentu saja pengalaman yang saya dapat selama
terjun ke masyarakat dan menanggulangi segala problemanya jauh lebih
berharga.
Setelah tidak lagi di pemerintahan pada tahun 2009, saya kemudian
menjadi ketua umum Partai Golkar. Sampai di sini masih belum terpikir
juga keinginan untuk maju sebagai capres. Karena itu, dulu setiap
ditanya apakah mau jadi capres, saya selalu bilang: terpikirkan saja
belum.
Tetapi dengan berjalannya waktu, saya mulai berpikir, dengan segala
pengalaman saya itu, apakah pengalaman yang diberikan Allah itu saya
buang sia-sia, atau saya abdikan kepada rakyat. Lalu saya mulai
membicarakan hal itu dengan istri saya. Istri saya pada awalnya tidak
setuju. Lalu saya bilang pada ibu saya, jawabannya sama, juga tidak
setuju. Anak-anak dan saudara saya juga tidak setuju.
Ibu
saya bahkan mengatakan saya boleh maju jadi capres jika beliau sudah
wafat. Karena Ibu saya dan keluarga saya tidak tahan melihat saya
diserang, dihina, dan difitnah, jika maju sebagai capres. Ini yang
membuat saya selalu menunda, ketika kader saya di Partai Golkar mendesak
saya maju jadi capres (Soal pencapresan saya di Partai Golkar bisa
dibaca di artikel ini).
Tetapi akhirnya saya memutuskan untuk maju. Saya maju bukan untuk
ambisi pribadi saya. Bukan untuk harta, karena Alhamdulillah Allah
member saya rejeki yang cukup banyak. Buka untuk jabatan atau
popularitas, karena Alhamdulillah saya juga sudah cukup populer dan
dikenal. Bahkan pula untuk kepentingan keluarga saya, karena justru
merekalah yang paling menderita dengan keputusan saya ini. Karena
waktunya dengan saya jadi berkurang, ikut mendapatkan dampak serangan
dari lawan-lawan politik, dan sebagainya.
Bahkan mungkin jika orang di posisi saya, mereka lebih memilih
menimang cucu dan jalan-jalan ke luar ngeri menikmati hidup, daripada
capek-capek turun ke daerah-daerah, menghabiskan banyak waktu, dana, dan
tenaga. Tapi itu bukan pilihan saya lebih memilih pengabdian pada
bangsa dan negara dengan cara maju sebagai capres.
Saya ingin pengalaman saya berguna untuk memajukan dan
mensejahterakan bangsa ini. Apalagi, dari kandidat yang ada, saya lihat
belum ada yang mempunyai pengalaman selengkap saya. Khususnya dalam
upaya mensejahterakan rakyat.
Saya tidak ngoyo, karena ini bukan ambisi, tapi sebuah pengabdian.
Jika masyarakat tidak memberikan kepercayaan pada saya, dan Allah tidak
mengizinkan saya jadi presiden, saya legowo dan akan mengabdi pada
tempat lain. Makanya saat ada majalah yang maksudnya mengejek saya
dengan judul mengatakan: hanya Tuhan yang bisa menjadikan ARB presiden.
Saya senyum saja. Karena itu benar. Yang bisa menjadikan saya presiden
memang Tuhan, karena hidup kita ini di tangan Allah. Kalau Dia
menghendaki semua terjadi, begitu pula sebaliknya.
Tapi saya sangat optimis dan bekerja keras untuk mencapai hal itu.
Bagi saya dengan optimis saja kita sudah separuh menang. Saya sadar
perjuangan untuk itu sangat panjang dan terjal. Saya mengibaratkannya
seperti mendaki Gunung Semeru.
Tapi saya senang dengan tantangan, karena tantangan membuat adrenalin
saya naik. Tantangan lah yang sesungguhnya membuat hidup kita lebih
berarti dan bermakna. Alhamdulillah selama ini banyak tantangan dalam
hidup ini yang berhasil saya lewati dan selesaikan dengan baik.
Saya sudah memilih. Saya siap dengan segala resikonya. Ibarat sebuah
pohon: makin tinggi pohon makin kencang anginnya. Tapi saya memilih jadi
pohon yang tinggi, meski angin begitu kencang menyerang. Saya tidak mau
menjadi rumput yang ada di bawah. Karena meski tak diterpa angin
kencang, rumput diinjak-injak orang.
Itulah cerita mengapa saya maju menjadi capres. Sebuah proses
pengabdian bagi bangsa, bukan sebuah ambisi pribadi. Semoga Allah SWT
meridhoi melancarkan jalan saya, dan semoga rakyat Indonesia mendukung
saya untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa ini.
(Sumber : http://icalbakrie.com/)
0 komentar
Readers Comments