Bone,

,

Refleksi Perjalanan Politik Baco Puraga

Lima tahun bukanlah waktu yang pendek. Bukan juga waktu yang lama untuk dijalani. Tak terasa lima tahun terakhir ini saya pernah menjadi ketua sebuah partai. Energi kehidupan saya secara total larut dalam hiruk pikuk kehidupan yang bernama politik. Sampai meminggirkan kehidupan saya sebagai seorang pribadi yang mempunyai keluarga dan kehidupan yang lain.

Politik bukanlah suatu hal yang asing bagi saya. Hanya saja sebelumnya saya hanya bermain di belakang layar dengan ikut membantu kawan-kawan yang berjuang di ranah politi dari berbagai partai. Keputusan maha penting untuk menjerumuskan diri di dunia politik ini merupakan ijetihad pribadi saya setelah dialog dengan Tuhan dan meminta nasihat pada (almarhum) ibu saya waktu itu. Akhirnya saya memutuskan memilih jalan untuk terjun langsung total di dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai ketua umum partai. Dan saya terpilih dengan cara yang demokratis.

Jika Pak Kajao punya cara untuk membesarkan partai, demikian juga saya. Saya juga punya cara sendiri untuk mengelola dan membesarkan partai. Alhamdulillahnya, cara yang saya gunakan mampu mempertahankan suara Partai dari hantaman prahara dari Partai lain. Hanya terbilang partai yang tidak terkena imbasnya, hanya beberapa partai yang mengalami kenaikan perolehan suara dan tetap bertahan masuk dalam lima besar partai berdasarkan perolehan suara pada Pemilu 2009 lalu.

Saya tidak menyangka sebelumnya, kalau ketua partai politik mempunyai kekuasaan dan daya tawar yang lumayan di mata penguasa. Sejak saat itu, saya jadi mengerti dan paham kenapa jabatan ketua partai diperebutkan. Dan saya menjadi maklum kenapa banyak orang yang berlomba-lomba membuat partai  dan bertarung memperebutkan kursi kepemimpinannya. Makanya tidaklah mengherankan apabila dalam pergantian jabatan ketua partai selalu ada riak, perpecahan, dan aroma yang kurang sedap. Ini karena kekuasaan memang memesona siapa saja.

Saya yang sebelumnya hidup di dunia bisnis yang komitmen menjadi acuan, terpaksa menyesuaikan diri dengan kehidupan politik yang baru yang serba cair dan lentur, sesuai keadaan. Sebuah pergeseran nilai kehidupan yang menarik  sekaligus mengherankan buat saya. “Ooo, ternyata begini”, ucap batin saya waktu itu.

Saya sudah berkomitmen, sampai lima tahun saya menjalankan peran sebagai ketua umum partai karena ingin punya kontribusi memperbaiki keadaan melalui jalan partai. Kenyataannya tak mudah. Di tengah jalan, kegamangan sempat menyelimuti hati saya, apakah ijetihad saya ini benar atau tidak. Rasa ragu untuk mundur sebagai ketua, ada. Baik karena desakan maupun karena ketidaktahanan. Namun saya tetap mempertahankan sampai jabatan tersebut selesai. Bukan untuk gagah-gagahan, hanya ingin meninggalkan rekam jejak bahwa memang ketika seseorang memilih menjadi ketua partai sebaiknya mempunyai komitmen penuh menjalankan amanah sampai selesai. Jangan juga mudah menyerah apabila didorong-dorong untuk dijatuhkan. Kata orang Bugis Sumange Tealara yakni Teguh dalam Keyakinan Kukuh dalam Kebersamaan. Ada baiknya yang memilih menghormati yang dipilih, dan yang dipilih menjalankan amanah yang memilih. Agar tidak ada perpecahan di tubuh partai hanya gara-gara beda pendapat. Dan agar juga tidak dijatuhkan di tengah jalan, dengan membentuk pengurus tandingan, yang sepertinya kok sudah menjadi tradisi dalam dunia organisasi dan politik di tanah air. Apa memang bangsa kita senangnya ribut-ribut? Mudah-mudahan persepsi saya salah.

Masa setelah era reformasi menjadikan bangsa Indonesia menjadi salah satu negara yang (mungkin) paling demokratis. Atau bahkan kebablasan, melebihi negara dari mana sistem demokratis itu sendiri berasal. Keadaan berbangsa seperti sekarang ini melegakan sekaligus mengkhawatirkan saya. Masa sebelum era reformasi tidak ada ruang sama sekali buat masyarakat untuk menjadi partisan. Semua sudah ditetapkan. Masyarakat tidak banyak diberi pilihan. Sementara masa reformasi sampai sekarang, masyarakat  bebas menentukan pilihannya sendiri. Dampaknya menjadi sangat partisan dan terkotak-kotak. Yang mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat ini tidak merasa bersatu sebagai bangsa Indonesia, melainkan bersatu hanya untuk memperjuangkan golongan dan kelompoknya saja. Ini jamak terjadi, bahkan di dalam tubuh partai itu sendiri.

Partai politik yang semestinya dimaknai sebagai ladang tanggungjawab sosial menjadi lebih sempit dimaknai sebagai bagian dari partisan sehingga menolak pihak atau kelompok lain yang bukan partisannya. Adalah wajar apabila selalu ada kasak-kusuk dan permusuhan. Ini membuat saya sedih. Dalam satu partaipun saya harus menyelesaikan masalah yang menurut kami bisa diselesaikan dengan pembicaraan, namun diselesaikan dengan amoral, melanggar etika, kekerasan dan bahkan senjata tajam. Sampai kapan bangsa ini akan maju kalau di partai politik saja yang merupakan salah satu motor penggerak perubahan bangsa masih terkungkung dengan pemahaman jahiliah yang tidak menatap masa depan.

Saya baru sadar ketika terjun ke dunia politik, tentang pentingnya dunia pencitraan bagi politisi. Dan saya mengalaminya. Entah itu benar atau tidak, itulah keputusan saya waktu itu. Mungkin saya juga yang mempelopori mengeluarkan iklan yang masif di berbagai media saat hari kebangkitan dengan slogan Hidup adalah Perbuatan. Bahkan saking seringnya muncul di teve, saya sampai bosan melihatnya. Kemudian setelah itu tidak sedikit politisi yang lain menggunakan cara tersebut sampai sekarang. Bahkan yang bukan politisipun ikut-ikutan demam pencitraan. Belakangan saya lebih senang mengistilahkan dunia pencitraan itu dengan dunia seolah-olah. Seolah-olah baik. seolah-olah berhasil. Seolah-olah mampu. Dunia pura-pura yang semu. Semua dibalut dengan topeng. Dunia yang sebenarnya bukan dunia saya.

Pembuatan iklan tersebut niat awalnya memang untuk memberikan imbauan pada diri sendiri dan masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan agar bangsa ini keluar dari krisis multilini. Namun tayangan iklan tersebut menimbulkan multipersepsi di benak masyarakat. Ada yang memuji, ada yang mencaci maki, dan tidak sedikit yang mencurigai. Niatan yang tujuannya insya Allah baik, bisa dipahami dengan tidak baik karena menggunakan cara-cara yang kurang tepat. Dan ini terjadi di dunia politik. Andai saja pada saat membuat iklan tersebut saya bukan ketua partai dan menggunakan cara yang berbeda, mungkin resistensi masyarakat juga tidak akan sebesar kalau dari partai. Ini yang menimbulkan pertanyaan besar dibenak saya, kenapa kalau sesuatu yang keluar dari partai mayoritas masyarakat curiga? Apa memang tidak ada ketulusan di partai? Apa yang salah dengan partai–partai, sampai masyarakat mempunyai tingkat kepercayaan yang rendah terhadap partai.

Demikian juga dengan kehidupan sosial saya, ketika saya akan memberikan bantuan secara pribadi, selalu dikait-kaitkan dengan partai yang saya pimpin. Sehingga ini mempersempit gerak sosial saya. Masyarakat yang dibantupun kadang tidak mau menerima karena mereka tahu saya salah satu ketua sebuah partai. Saya tidak mau menyalahkan masyarakat yang mungkin sebelumnya memang sudah ada transaksi sosial berupa ikatan yang kuat terhadap suatu partai tertentu. Hanya saja memang baju kita menjadi lebih sempit dibanding apabila kita tidak mengenakan baju partai.

Inilah salah satu episode dalam hidup saya. Mungkin babak paling berat dalam hidup saya. Namun saya sama sekali tidak menyesal terhadap keputusan saya menjadi Ketua Umum Partai hingga lima tahun ini. Dan saya juga tidak menyesal secara sadar membuat keputusan untuk menyudahi dan tidak berminat untuk mencalonkan kembali menjadi Ketua Umum Partai. Bukan karena sakit hati atau kecewa, melainkan waktu lima tahun memang sudah cukup untuk mengabdikan diri di partai. Inilah saat yang tepat bagi saya untuk mencerabutkan diri dari hiruk pikuk kepartaian dan kembali ke habitat sebelumnya di dunia wirausaha dan sosial kemasyarakatan.

Ini merupakan salah satu keputusan saya untuk memasuki episode yang baru dalam kehidupan saya, yaitu babak spiritualitas. Babak dimana banyak menjumpai kebahagiaan, kehidupan yang harmonis, dan ketenangan. Ini sebagai sebuah perjalanan untuk menemukan hakikat yang selama ini mungkin saya biarkan tak terawat sehingga hati sebagai sebuah cermin menjadi kotor dan kusam, yang akhirnya tidak mampu merefleksikan nilai-nilai ketuhanan. Menekuni dunia spiritulitas bukan lari dari tanggungjawab, melainkan upaya untuk melihat segala permasalahan dengan pandangan yang jernih tanpa bertendensi apapun selain nilai kebenaran itu sendiri.

Untuk berkontribusi terhadap bangsa, partai adalah salah satunya. Namun, tidak selalu melalui partai. Banyak orang yang tidak di dalam partai bahkan mempunyai kontribusi besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dibanding orang yang di dalam partai. Ketika seseorang sudah memutuskan mengabdikan diri di partai hendaknya itu merupakan keputusan yang diambil secara sadar. Bukan karena kepepet, karena memang sudah tidak ada pekerjaan lain, sehingga partai dijadikan pelarian, bahkan untuk penghidupan. Karena memang di partai banyak tersedia jalan pintas untuk menuju ke kekuasaan?.

Berkhidmat di dunia kepartaian lebih baik apabila diniatkan sebagai kontribusi sosial, merasa sebagai bagian sekrup kecil dari sebuah mesin besar yang akan membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik. Di partai bukan untuk membangun dinasti turun temurun dan perkoncoan yang seolah-olah hanya dari golongan atau keturunan mereka saja yang berhak mengelola negara ini dan menafikan yang lain. Melainkan mengembangkan sikap legowo, dan mempersilakan yang lebih pantas dan mampu untuk mengemban amanah itu.

Alangkah eloknya apabila pribadi yang berasal dari partai ketika menjadi penjabat publik, rela meninggalkan sikap partisan dan total melayani masyarakat. Tidak mencampuradukkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan diri dan partainya. Sekarang inilah saatnya kita semua menatap masa depan dengan bekerja lebih giat dan tidak membawa-bawa urusan dan gejolak politik kedalam kehidupan masyarakat, sehingga energi masyarakat tidak tersedot semuanya ke urusan politik. Pekerjaan rumah bangsa ini masih banyak menumpuk untuk diselesaikan.

Terakhir, saya ingin mengakhiri peran saya sebagai ketua umum partai dengan khusnul qotimah sehingga saya hanya berharap permohonan maaf apabila selama kepemimpinan saya, ada hal-hal yang mengecewakan, janji tak tertunai, mencederai perasaan, dan tidak bisa memuaskan keinginan banyak orang terutama buat masyarakat yang dalam Pemilu 2009 lalu telah memilih Partai kami sebagai harapan perubahan bangsa.

Saya hanya berharap semoga pribadi-pribadi yang dulu dipilih di Senayan tetap istiqomah memperjuang nilai-nilai kebenaran dan kejujuran yang belakangan ini sudah semakin langka. Doa saya, siapapun ketua umum yang terpilih, semoga mampu membawa Partai kearah yang lebih baik dibanding masa kepemimpinan saya sehingga sebagai bangsa merasakan kontribusi dari kepemimpinannya itu.

Dari berbagai referensi budaya Bugis yang ada, sebaiknya gunakan prinsip motto Sumange Tealara yang (digagas oleh Mursalim) dalam membesarkan partai. Nilai luhur yang terkandung dalam Motto SUMANGE TEALARA adalah :
1.  Sumange Tealara  merupakan ruh kehidupan yang menjiwai segala tindak tanduk kita.
2.  Sumange Tealara  mampu memberikan kekuatan.
3.  Sumange Tealara  mampu menciptakan jalan.
4.  Sumange Tealara  bisa mengusir ketakutan
5.  Sumange Tealara  bisa mengobati rasa lelah
6.  Sumange Tealara  bisa mematahkan kesulitan.
7.  Sumange Tealara  akan mengantarkan kita pada tujuan
8.  Sumange Tealara  akan membawa ke tempat yang kita inginkan
9.  Sumange Tealara  akan menerangi kegelapan kita
10. Sumange Tealara  akan menciptakan banyak arti.
11. Sumange Tealara  dapat mengangkat  harkat dan martabat
Terima Kasih. Semoga Sukses
(Sumber : Teluk Bone)


Artikel Terkait:

1 komentar

  1. Kalau bukan kita siapa lagi kalau bukan sekarang kapan lagi he....he.....

Readers Comments

Bacaan Selanjutnya

PARTAI GOLKAR KABUPATEN BONE

MEDIA CENTER PARTAI GOLKAR

TEGUH DALAM KEYAKINAN KUKUH DALAM KEBERSAMAAN

BIODATA

KOTAK INFORMASI

SUARA GOLKAR SUARA RAKYAT

KPU